Tempat
Wisata Penuh Dengan Pedagang Kaki Lima
Lagi
menikmati wisata tiba-tiba ada yg nawarin air minum dalam kemasan, “yg dingin
yg dingin, mas yg dingin”. Pasti kita pernah mengalami hal tersebut baik itu di
tempat wisata atau di jalan. Pedagang kaki lima paling mudah dijumpai di tempat
keramaian bahkan di acara konser, mereka berada di tengah-tengah ratusan
penonton dengan sigapnya memanggul barang jualan mereka (baca: PKL). Kebanyakan
pedagang kaki lima adalah orang luar daerah yg berusaha mencari peruntungan di
ibu kota bahkan mereka tidak memiliki keahlian khusus hanya dengan modal nekat
dan berharap dapat kerjaan dengan mudah.
Istilah
pedagang kaki lima atau PKL muncul karena saat berjualan mereka menggunakan
meja dengan kaki yg berjumlah 5 sehingga mereka disebut pedagang kaki lima. PKL
biasanya berjualan di pinggir jalan karena sistem jual mereka adalah menjemput
bola karena calon pembeli paling banyak adalah saat berada di jalanan. Dengan
banyaknya PKL yg berjualan di pinggir jalan mengakibatkan jalan menjadi macet
karena PKL memakan bagian jalan dan trotoar. Jalanan berubah menjadi pasar
dadakan sejak sore sampai pagi hari.
Tempat
wisata di Jakarta biasanya dijadikan ajang berkumpulnya PKL untuk menjajakan
dagangannya. Berharap dengan banyaknya wisatawan, banyak pula pembeli yg akan
membeli barang dagangannya. Pemikiran seperti inilah yg selalu muncul dibenak
PKL yg ada di Jakarta sehingga semua PKL berlomba-lomba dan berbondong-bondong
untuk jualan di tempat wisata. Tentu saja tempat wisata dipenuhi PKL dan jujur
saja saya tidak menikmati hal ini.
Saya tidak
membenci PKL hanya saja keberadaannya menyalahi aturan yg ada. Lihat saja
mereka (baca: PKL) dengan enaknya menggelar lapak di trotoar dan di pelataran
tempat wisata. Akses untuk melintas di tempat wisata menjadi terganggu, ingin
menikmati suasana tapi tidak dapat menikmatinya. Bukankah tempat wisata menjadi
tempat rekreasi dan menghilangkan kepenatan dari segala rutinitas tetapi
kenyataannya tempat wisata berubah menjadi pasar.
Pemerintah bukan
tidak ada upaya dalam menertibkan PKL yg berjualan di tempat wisata. Beberapa
waktu yg lalu Pol PP menertibkan PKL yg berjualan di kawasan wisata Monas dan
penertiban tersebut berlangsung ricuh. PKL yg berjualan di Monas biasanya
berjualan pernak-pernik monas, baju, minuman, jasa foto dan masih banyak lagi.
Setelah dilakukan penertiban, PKL akan kembali lagi dan berjualan seperti
biasanya. Seakan tidak ada kapoknya dan mereka melakukannya demi sejengkal
perut dan sesuap nasi untuk menyambung hidup di Jakarta.
Alasan
bertahan hidup menjadi alasan yg paling banyak ditemui, mau kerja yg lain tidak
ada keahlian dan pendidikan. Disinilah peran pemerintah dalam menertibkan dan
memberi solusi yg tepat untuk PKL. Apakah itu dengan menyediakan kawasan jualan
tersendiri di tempat wisata atau melarang dengan keras berjualan di tempat
wisata. Hari sabtu dan minggu merupakan hari yg paling dinanti untuk berwisata,
kalau tempat wisatanya rapi dan bersih dari PKL bukankah akan lebih indah?
Sekali lagi
saya tekankan, saya bukannya tidak suka PKL. Disini saya hanya mencoba
mengeluarkan keresahan selama berwisata di Jakarta. Sampah dari PKL berserakan,
memakan badan trotoar sehingga mobilitas pejalan kaki yg akan menuju tempat
wisata menjadi tidak nyaman. Saya harap pemerintah Jakarta segera menertibkan
dan melakukan tindakan yg menguntungkan bagi kedua pihak baik itu PKL dan para
wisatawan. Semoga saja...
0 comments:
Posting Komentar